(Cerpen) Cerita Berbeda di Pendakian yang Sama


Cerita Berbeda di Pendakian yang Sama
Oleh: Nada Prinia

Kalian mungkin sudah tidak asing dengan satu nama tempat yang akan aku ceritakan. Namun, aku yakin tidak banyak dari kalian yang pernah ke sana. Bukan, bukan di luar negeri, kok. Tempat ini berada di Jawa Timur tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi, yaitu Kawah Ijen. Objek wisata alam ini menawarkan keindahan kawah yang berada di puncak Gunung Ijen dan eternal blue fire atau api biru yang bisa terlihat menyala saat dini hari. Pemandangan alami ini hanya terjadi pada dua tempat di dunia, yaitu Islandia dan Ijen. Keindahan Kawah Ijen juga mengundang banyak wisatawan mancanegara untuk datang dan menikmati pemandangan yang menyegarkan dari alam.

Aku bersama keluarga sudah beberapa kali mengunjungi Kawah Ijen, padahal jarak tempuh yang harus kami lalui menggunakan mobil adalah sekitar tujuh jam dari Malang. Bahkan, kami selalu kembali ke tempat yang sama dengan mengendarai mobil yang sama hampir setiap tahun. Kalau dibilang bosan, ya bosan karena sudah terlalu sering. Apalagi kami tidak mempunyai saudara ataupun kerabat, juga tidak ada urusan apa-apa di sana selain mendaki lagi menuju kawah dengan rute yang juga tetap saja sama. Pemandangan Kawah Ijen pun tidak berubah menjadi warna merah atau ungu, tetap saja warna hijau kebiruan seperti lautan batu emerald. Tempat itu sungguh tidak pernah berubah banyak, tetap cantik dan mengagumkan. Mungkin yang berubah hanya para penjual yang dulunya berjualan mie instan sekarang juga menjual bubur kacang. Namun, tidak mungkin kan kalau kita menempuh perjalanan tujuh jam hanya untuk beli bubur kacang. Lalu, mengapa? Aku pun baru saja terpikirkan jawaban dari pertanyaan ini.
Tahun lalu, tepatnya di bulan Desember 2019, aku dan keluarga berangkat menuju Kawah Ijen lagi. Bisa kubaca raut muka adikku yang seolah berkata “tahun lalu kan udah kesini” dengan tetap pasrah. Kami menginap di sebuah hotel daerah Paltuding yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari area pendakian. Banyak juga pendaki yang memilih untuk mendirikan tenda di sekitar sana. Hotel kami terlihat cukup menarik dengan desain ala alam. Kami disambut oleh wanita paruh baya yang merupakan penjaga hotel dengan ramah. Sayangnya, hotel tersebut terbilang cukup mahal dengan fasilitas yang ternyata buruk seperti kamar mandi bau, tidak ada air, dan ruangan kayu yang kotor. Aku jujur merasa jijik dan sebagai orang yang lekas naik darah rasanya ingin sekali aku marah pada penjaga hotel tadi, tetapi akhirnya aku urungkan niatku itu. Aku berusaha menahan diri untuk tetap sabar agar perjalanan kali ini berjalan dengan lancar.
Keesokan hari, kami mendaki rute menuju Kawah Ijen sepanjang 3 km mulai pukul 9 pagi. Untuk melihat blue fire, pendakian harus dimulai dari jam 2 pagi, tetapi kami sekeluarga terlalu capek saat itu. Apalagi menurut kami, bau belerang dari kawah akan tercium lebih kuat saat pagi dan akhirnya memaksa pendaki untuk menggunakan masker. Aku berjalan dengan semangat dan beriringan bersama adikku. Kerap kali kedua orangtuaku tertinggal di belakang sampai akhirnya bapak memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan menunggu di pondok peristirahatan. Ia terlihat sudah letih dan tak sanggup untuk mendaki lebih jauh lagi. Di Kawah Ijen uniknya ada banyak 'taksi' yang siap mengantar sampai puncak tanpa perlu jalan kaki dengan cara naik gerobak. Teknisnya kita akan naik gerobak yang kemudian ditarik oleh dua hingga tiga orang sampai ke puncak. Namun, aku, adik, dan mami tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Sampai di puncak, kekecewaan pun datang ketika kami tidak bisa melihat pemandangan Kawah Ijen dengan jelas karena kabut yang sangat tebal. Padahal, tempat ini benar-benar indah ketika tidak ada kabut. Mungkin kami tidak seharusnya datang kesini saat musim hujan. Tak lama akhirnya kami bertiga memutuskan untuk turun karena awan semakin gelap. Benar saja, baru 10 langkah kami berjalan tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Hujan di atas gunung ternyata sungguh menakutkan apalagi ditambah sambaran petir dan suaranya yang sangat menggelegar membuatku merinding sekaligus was-was dengan pohon tumbang dan tanah longsor. Kami bertemu lagi dengan bapak di pondok peristirahatan lalu berteduh dan menghangatkan diri sejenak. Hujan yang tak kunjung reda membuat kami berempat akhirnya nekat melanjutkan perjalanan sampai ke hotel dan lalu beristirahat.
Sebenarnya, alasan kami selalu pergi ke tempat yang sama setiap tahun adalah sebagai tolak ukur. Pergi ke Kawah Ijen dengan rute pendakian yang sama ibarat mendapat masalah yang sama berulang kali. Pembedanya adalah diri kita. Kita dalam hidup tidak akan pernah berhenti bertumbuh, berkembang, lalu berubah dan seringnya kita tidak sadar dengan hal ini. Apakah kita masih orang yang sama dengan diri kita tahun lalu? Atau mungkin kita sudah berkembang dan berubah? Cara mudah untuk mengukur seberapa banyak kita telah berkembang dan berubah adalah dengan menghadapi masalah yang sama lagi, tapi sekarang lihat bagaimana cara kita menanganinya. Perjalanan ke Kawah Ijen kali ini membuatku sadar bahwa aku telah menjadi orang yang lebih sabar daripada tahun lalu. Aku telah menjadi orang yang lebih tenang dan ceria. Hubunganku dengan adik juga semakin baik dan dekat dilihat dari bagaimana kita bisa berjalan bersama berdampingan. Perjalanan ini juga membuatku sedih sekaligus sadar bahwa bapak sudah semakin berumur dan lambat laun menua. Dulu bapak yang selalu menguatkan aku untuk terus mendaki ke puncak dan tidak menyerah di tengah, tapi sekarang beliau hanya bisa duduk beristirahat dan menungguku pulang. Hal ini membuatku berpikir bahwa waktu sungguh berjalan dengan sangat cepat dan seiringnya juga kita pun ikut berjalan dari satu titik ke titik lain, fase ke fase lain, yang membuat kita terus bertumbuh dan berubah. Entah kapan akhirnya kita akan istirahat, tidak ada yang tahu. Yang pasti Kawah Ijen menjadi saksi bisu bagaimana aku dan keluarga bersenang-senang dan bertumbuh bersama.

KEGIATAN PANORAMA