(Cerpen) Impian yang Tak Tergapai


Impian yang Tak Tergapai
Oleh : M. Didan Al-Hadad

Sejak  kecil, kita semua pasti mempunyai impian atau cita-cita yang ingin kita raih ketika sudah dewasa nanti. Impian atau cita-cita ketika kita masih kecil sangatlah beragam, ada yang ingin menjadi tentara, polisi, dokter, pilot, astronot, atlet dan sebagainya. Orang tua selalu menggiring anaknya untuk dapat mewujudkan impian tersebut melalui banyak cara, salah satunya yaitu melalui pengajaran dan bimbingan pada saat sekolah maupun belajar mandiri sesuai bidang yang diminati oleh anaknya. Impian tersebut hanya sebatas penyemangat atau pemantik agar terus belajar dengan giat dan mempunyai tujuan yang jelas untuk masa depan. Aku sendiri mempunyai banyak impian saat waktu kecil dan juga pernah merasakan rasanya semangat belajar pada saat itu.

            Bicara impian, tidak ada orang tua yang mengarahkan anaknya untuk menjadi orang yang jahat. Seorang penjahat saja ingin anaknya menjadi orang yang baik kelak dewasa nanti. Tetapi ada faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan untuk tergapainya impian itu sendiri. Salah satunya adalah faktor lingkungan, jika lingkungan mendukung dan mendapat dorongan dari keluarga bisa dipungkiri bahwa impian tersebut bisa terwujud nantinya. Selain dorongan dan semangat dari lingkungan sekitar juga perlu disertai kerja keras untuk menggapainya. Tapi semua itu tidak aku dapatkan sewaktu aku kecil. Aku hanya sekedar merasakan semangat yang terngiang-ngiang didalam otak dan tidak ada dukungan atau arahan yang lebih fokus kedalam impian yang ingin aku raih, alhasil seperti diatas hanya sebatas penyemangat belajar.

            Waktu yang terus berputar serta kondisiku yang tidak mendukung untuk menggapai impian  ini, lambat laun impian tersebut luntur digerus waktu yang sangat cepat. Impianku menjadi pemain sepak bola tak segampang mencetak gol dilapangan, melaikan jalan terjal berbatu runcing yang banyak aku lewati. Aku pertama kali mencoba untuk menggapai impianku menjadi pemain sepak bola pada saat umur 9 tahun. Dikarenakan aku mempunyai fisik yang lemah serta gampang sakit, orang tuaku melarang mengikuti aktivitas yang berat seperti berlatih sepak bola itu sendiri.

            Awal kali aku masuk ke Sekolah Sepak bola (SBB) pun tidak mendapat izin dari orang tua, aku memutuskan menabung untuk membeli sepatu bola pertamaku serta membeli seragam sekolah sepak bola secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuaku. Bisa dikatakan orang tuaku terlalu ketat saat mendidik alhasil aku mempunyai jiwa-jiwa pemberontak sejak kecil. Awal kali berlatih pun aku sembunyi-sembunyi untuk pergi ke lapangan bola yang jaraknya kurang lebih hanya satu kilometer dari rumahku. Aku pertama kali mendapatkan baju bola saat di SBB dengan nomor punggung 27 yang membuatku menambah semangat morilku untuk terus berlatih dengan keras. Berbanding terbalik dengan bidang akademik seperti saat di sekolah, aku bisa dikatakan orangnya malas dan tidak pandai mengerjakan rumus matematika seperti orang-orang pada umumnya.

Setelah mengikuti SSB selama kurang lebih 4 tahun aku memutuskannya untuk berhenti karena ingin fokus belajar tepatnya pada saat duduk di bangku SMP. Pada saat itu aku tidak meninggalkan sepak bola begitu saja, aku pun mengikuti ekstrakulikuler sepak bola di sekolah. Terkadang jika di tempat SBB ada yang kekurangan pemain, aku turut bergabung dan berlatih disana selama seminggu sekali. Setelah itu, aku melangkah lebih maju untuk mencoba mengikuti seleksi yang diadakan oleh akademi sepak bola klub besar di Indonesia, walaupun semua seleksi itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pada saat itu yang membuka seleksi yaitu Arema FC dan Bali United. Aku hanya bisa merasakan seleksi di Arema FC saja  karena Bali United dilaksanakan di Bali dan orang tuaku tidak memberikanku izin saat itu. Setelah mengikuti seleksi akademi sepak bola aku mulai merasakan banyak hal di kehidupkanku mulai dari banyaknya tugas dari sekolah, masalah pertemanan, hingga waktu yang terbuang sia-sia karena game online dan nongkrong yang tidak tahu batasan waktu. Di sini aku juga mulai merasakan apa yang dikatakan oleh pepatah “semakin tinggi pohon semakin kencang juga angin menerpa”. Karena mental pada seumuran ABG (Anak baru gede) yang labil dalam menentukan pilihan, di sini aku mulai mengikuti kegiatan selain sepak bola seperti mengikuti berlatih badminton, mencoba belajar alat musik seperti gitar, belajar tentang fotografi dan sebagainya untuk terus mengetahui dan mempelajari banyak hal.

Setelah lulus SMP aku lebih berfikir realistis untuk masa depanku. Aku sudah tidak lagi memikirkan sepak bola untuk jadi cita-citaku kelak, aku mencoba mendalami kegiatan selain olahraga karena aku sadar bahwa kemampuanku tidak bisa berkembang dan mungkin salahku sedari kecil dulu. Makin kesini hidupku semakin rumit, satu persatu masalah datang begitu saja. Meskipun itu membuatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi tetapi ada satu hal yang masih aku pertanyakan dalam diriku yaitu mau jadi apa aku nantinya? Apakah aku pengangguran? Kerjapun kerja apa? Dari situ aku sangat labil kesana kemari mencari dimana passionku berada. Cita-cita yang dulu kita impikan hanyalah penyemangat belaka, hanya beberapa persen dari semua orang yang bisa mewujudkannya. Iya memang disini aku bukanlah orang yang bisa menginspirasi seperti cerita orang lain, aku juga mengecap diriku sebagai generasi yang gagal dalam hidup.

Kehidupanku pada saat SMA sebagaian besar hanya mendewasakan hidup seperti layaknya survive di kerumunan sosial ini. Tidak ada cerita menarik yang ingin aku sampaikan bagi seorang yang gagal sepertiku. Akademik maupun non-akademik pun sampai SMA aku tidak pernah membanggakan orang tua meskipun hanya nilai yang bagus. Aku pun setelah lulus SMA awalnya tidak mau meneruskan ke perguruan tinggi karena aku tidak tahu passionku dimana karena kegiatan atau hal yang aku sukai kurang mendapat dukungan dari lingkunganku. Ayahku tetap ingin aku masuk perguruan tinggi negeri tetapi aku menolak karena waktu itu sudah menjadi rahasia umum juga untuk masuk perguruan tinggi membutuhkan uang yang tidak masuk akal hanya untuk mencari ilmu. Akhirnya aku masuk ke salah satu perguruan tinggi swasta untuk melanjutkan pendidikanku. Tidak ada yang menarik juga sampai sekarang hingga aku pun merasakan struggle dengan kehidupanku yang malas untuk belajar karena bukan passion di jurusanku yang sekarang.

Di pertengahan semester kuliah ini aku mencoba mendalami dunia Podcast yang sudah aku ikuti semenjak duduk dibangku SMA. Hanya bermodalkan niat dan berdoa semoga disini tuhan memberikan jalan rezeki untuk aku kedepannya. Aku sempat ingin keluar dari kuliah karena lingkungan yang tidak mendukung dan juga nilai yang anjlok karena aku sudah malas dalam belajar. Tetapi Ibuku melarang itu semua dan sepertinya sudah pasrah denganku “yang penting kuliah, gapapa nilai jelek le, rezeki sudah diatur Tuhan, sudah jangan tertekan” kata Ibu. Kata-kata tersebut sedikit menenangkan kondisi psikologis jiwaku yang masih terngiang-ngiang tuntutan sukses kelak nanti. Dari sini aku mencoba memulai kembali lagi tujuan hidupku dan harus lebih giat dengan apa yang menjadi keinginanku saat ini serta mencoba menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ada cerita yang membuatku semangat yaitu cerita dari Harland Sanders pendiri KFC yang sukses di usia 70 tahun setelah struggle di hidupnya itu membuatku lebih religius lagi dan percaya skenario Tuhan itu indah.



KEGIATAN PANORAMA