(Cerpen) An Unexpected Meeting

An Unexpected Meeting
Suara gemerecik air terdengar sangat nyaring di telinga Aldy. Pemuda itu melemparkan pandangannya keluar jendela, mendapati butiran-butiran air hujan jatuh ke bumi dengan volume yang sangat besar. Moodnya seketika luntur, walaupun terpatri pada otaknya ujian-ujian akan menimpanya tanpa ampun, kurang lebih 2 bulan lagi. Suara hujan yang begitu kencang membuat suara tentornya hilang bagai ditelan bumi. Hawa dingin yang menusuk kalbu, memaksa kelopak mata Aldy untuk tertutup.
Hah, harusnya gausa les aja tadi. Tapi, kalo ga les, malah ketemu perempuan itu. Aldy asik bergelut dalam hati.
Ia menaruh kedua lengannya di meja, menyimpan kepalanya yang berat. Rasanya terlelap sedikit tidak apa. Toh, materi hari ini sudah ia kuasai luar kepala.
Merasakan guncangan-guncangan yang ia dapatkan dari lengan kanannya, Aldy terbangun. Pemuda itu mendapati ruangan kelas yang ia tempati kosong; tidak ada siapa-siapa. Ia melirik jam tangannya, dan ternyata sudah 1 jam setelah kelas dibubarkan. Bagaimana bisa teman-temannya tidak membangunkannya?
Aldy memasukkan buku-bukunya dengan asal, menarik resleting tasnya dengan cepat, dan sesegera mungkin meninggalkan ruangan kelas yang sepi dan gelap itu. Err, bahkan Aldy sangat takut.
"Hei."
Sebuah suara menahan langkah gesit Aldy. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke segala arah, mencari sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya pemuda itu mendapati seorang gadis dengan wajah manis sedang duduk di kursi belakang.
Gadis itu berdiri, mendekati Aldy. Ia memakai rok selutut dan sepatu kets, simpel, namun tetap terlihat manis. Rambut pendek hitamnya ia biarkan tergerai, dan bertengger satu jepit dengan tanda hati di pinggirnya.
Gila, cantik amat nih orang. Batin Aldy.
"Aku yang bangunin kamu." Katanya. "Kamu nyenyak banget, sebenernya ga tega sih bangunin kamu. Tapi…ini udah mau gelap."
"Emm, makasih ya." Aldy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalau kamu ga bangunin aku, bisa gawat kalo aku kekunci disini."
Gadis itu tersenyum, membuat hati Aldy kembali berdesir. Senyuman hangat itu mampu membuat Aldy terenyuh, walaupun mereka baru bertemu sekali ini.
"Tapi masih hujan." Kata si gadis. "Kamu naik bus apa-"
"Aku bawa motor." Ujar Aldy cepat. "Aku mau nunggu hujan reda aja dulu." Rasanya ia tidak mau meninggalkan gadis itu barang sebentar saja.
"Oh? Kalo gitu, ayo nunggu bareng."
Setelahnya, Aldy dan Rara—nama gadis itu—duduk di kursi panjang di Koridor kelas tanpa berbicara, kalut dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Aldy memainkan ponselnya, bingung harus berbuat apa. Sedangkan gadis di sebelahnya hanya menatap hujan dalam diam.
"Aku gasuka hujan." Kata Rara tiba-tiba. Aldy menoleh, memperhatikan paras cantik Rara dari samping. "Hujan ngingetin aku sama kesedihan."
"Oh ya?" Aldy mengangguk kecil. "Aku juga gasuka, bikin semua orang repot."
"Banyak yang kecelakaan yang disebabin sama hujan, 'kan?" tanya Rara, menoleh kearah Aldy dengan tersenyum. "Jalanan jadi licin, bikin orang kepleset."
Aldy hanya tersenyum getir mendengarnya.
"Kamu kelas berapa?" Tanya Aldy tiba-tiba. "Aku kayak gapernah ngeliat kamu?"
"Aku anak kelas 12, Dy. Aku gapernah nunjukin diri aku aja, jadi kamu ga pernah tahu."
Entah mengapa saat Rara berkata seperti itu, bulu kuduk Aldy berdiri.
"Akhirnya ya, kita bisa ngobrol kayak gini. Padahal aku pikir aku ga pernah bisa ngobrol sama kamu."
Aldy terkesiap.
"Emang sih, kamu baru masuk sekolah ini baru sebentar. Tapi gatau kenapa, kamu selalu ada di pikiranku. Padahal, aku cuma pernah liat kamu sekali; waktu kamu main basket. Itupun ga lama, paling cuma 5 menit." Rara terkekeh. "Perasaan manusia emang ga bisa di duga, ya?"
Aldy masih mematung, tidak membalas perkataan Rara. Secara tidak langsung, gadis itu berkata ia menyukainya, 'kan?
"Aku orangnya pendiem, Dy. Aku gabisa bikin hubungan yang baik sama orang, walaupun itu cuma temenan. Makanya aku cuma bisa berteman sama satu orang, namanya Dea.
"Dea satu-satunya temen aku, dan dia satu-satunya orang yang peduli sama aku, setelah Papa dan Mama. Dea itu baik banget."
"Sekarang aku temen kamu juga, Ra." Aldy menyanggah kata-kata Rara. "Karena kita udah saling kenal, kita bisa ngobrol waktu jam istirahat, pulang sekolah bareng, belajar bareng…aku mau kok."
Rara terkekeh lagi, "sayangnya ga segampang itu, Aldy."
Aldy mengerutkan dahinya, "kenapa?"
Rara berdiri, tidak menanggapi perkataan Aldy. Gadis itu berdiri di samping dinding pembatas kelas, sambil menjulurkan kedua tangannya, menampung air hujan dengan telapaknya.
"Tapi sekarang, aku udah ga benci lagi sama hujan."
Aldy memicingkan matanya, secepat itu?
"Karena hujan, aku jadi bisa ketemu dan ngobrol sama kamu." Rara menoleh kearah Aldy, menunjukkan senyum manisnya. Dan benar, semburat merah muncul di pipi Aldy. Ia membuang pandangannya alih-alih menghilangkan rona pipinya itu.
Tiba-tiba ponsel Aldy berbunyi, memecah keheningan diantara mereka. Aldy membaca nama yang muncul, membuat tangannya terhenti untuk menerima panggilan itu.
"Kenapa ga diangkat?" tanya Rara. "Dari Mama kamu, loh."
"Gapengen." Kata Aldy cepat. Alasan satu-satunya ia berangkat bimbel adalah karena Ibunya, karena hari ini beliau pulang dari luar negeri. Bukan, ibunya bukan ibu tiri yang bisa Aldy benci. Namun karena ibunya itu, sebentar lagi ia memiliki ayah tiri. Yap, ayah kandungnya meninggal dua tahun yang lalu dan ibunya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki lain, dan Aldy sangat tidak menyukai itu.
Maka dari itu, ia membenci Ibunya.
"Angkat, Aldyyyyy. Kamu tuh ya, bandel amat." Kata Rara, memegang tangan Aldy dan mengarahkannya untuk memegang ponselnya.
"Aku gamau angkat, Rara." Kata Aldy. Singkat, padat, dan jelas. Air mukanya berubah, membuat Rara terdiam tanpa menyuruh Aldy mengangkat teleponnya lagi.
Setelah keheningan menyelimuti mereka, Rara kembali berbicara, "Kamu ga seharusnya hirauin panggilan mama kamu kayak gitu. Aku yang gabisa lagi ketemu Mama, malah sedih banget loh."
Aldy terkejut. "Mama kamu…?"
"Mama itu orang yang paling sayang sama kita. Kamu bodoh kalo kamu nyia-nyiain rasa sayang mama kamu itu, Dy. Kalo kamu gabisa ketemu lagi sama Mama kamu, kamu bakalan sedih banget loh."
Aldy terdiam lagi. Hari ini, ia banyak terdiam mendengar perkataan Rara yang sangat menancap di hatinya itu.
Seiring volume hujan yang berangsur-angsur berkurang, Aldy memakai jaketnya dengan cepat dan bersiap-siap untuk pulang. Ya, dia ingin pulang dan bertemu dengan Ibunya yang sebenarnya sangat ia rindukan. Semua itu karena perkataan Rara.
"Rara aku pulang dulu ya?" pamit Aldy. "Maaf aku gabisa anter kamu pulang."
Rara mengangguk, lalu tersenyum lagi. "Boleh aku minta sesuatu, Dy?"
Kali ini, giliran Aldy yang mengangguk.
Rara berdiri tepat di depan Aldy, menjijitkan kakinya walau tidak seberapa dengan tinggi pemuda itu. Ia mengarahkan bibirnya ke pipi kiri pemuda itu, mengecupnya lembut.
"Makasih udah bolehin aku cium kamu."
Hati Aldy berdesir, dan jantungnya sudah tidak karuan. Hah, pemuda itu benar-benar sudah kehilangan pikirannya karena Rara. Gadis itu…gadis yang membuat Aldy mempercayai bahwa di dunia ini ada cinta pada pandangan pertama.
"Aku pulang dulu ya."
"Emm, satu lagi, Dy." kata Rara.
Aldy menoleh lagi.
"Jangan sampai karena hari ini, kamu jadi suka sama aku, ya? Cukup inget aku, di dalem hati kamu. Aku selalu ada di hati kamu, 'kan?" Rara tertawa lebar, sampai kedua matanya tak telihat. Kali ini, satu-satunya kalimat yang membuat Aldy kecewa.
"Kenapa, Ra?"
"Kamu udah ditunggu sama mama kamu tuh, di Rumah. Jangan lupa oleh-oleh dari Swiss ya?"
Sepertinya, Rara orang yang tidak suka menjawab pertanyaan Aldy. Walau begitu, Aldy melangkahkan kakinya menjauhi Rara, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
+
Riuh ramai siswa-siswi SMA Tunas Harapan terdengar sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Aldy mengambil bingkisan kecil yang ada di dalam tasnya, lalu dengan cepat melangkahkan kakinya meninggalkan kelas.
Pemuda itu mencari Rara, gadis yang kemarin sore menghabiskan waktu bersamanya. Namun, gadis itu tidak dapat ia temukan dimanapun. Padahal, ia sudah membawakan oleh-oleh dari ibunya yang sudah Rara minta. Sebenarnya, Aldy heran kenapa Rara tahu ibunya baru saja pulang dari Swiss, padahal ia tidak menceritakan apapun pada Rara soal ibunya.
Setelah mencari ke seantero sekolah namun hasilnya nihil, Aldy terduduk di bangku Kantin dengan kecewa. Namun, tiba-tiba manik matanya menangkap seorang gadis dengan nama 'Dea' di dadanya.
Sontak, pemuda itu menarik gadis itu menjauhi Kantin.
"A-Aldy? Ada apa?"
"Dea, 'kan?" Tanya Aldy, setelah dirasa cukup jauh menjauh Kantin.
"Iya, gue Dea. Kenapa?" Tanya Dea kembali.
"Rara kemana? Gamasuk ya?"
Pertanyaan Aldy benar-benar membuat gadis itu membulatkan matanya. Ia menatap Aldy tak percaya, sampai membuat yang ditatap heran dengan pandangan gadis itu.
"Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Aldy, heran dengan pandangan Dea kepadanya.
"Kapan lo ketemu Rara?"
"Kemaren, di Koridor."
Dea yang menutupi mulutnya yang terbuka sempurna, tiba-tiba menangis tertahan.
"Woi, Dea! Lo kenapa?" Aldy bingung dengan perilaku Dea yang aneh itu.
"D-Dy..Rara..Rara udah meninggal." Kata Dea terisak. "Kecelakaan seminggu lalu, motornya jatoh gara-gara jalanan licin kena ujan."
Aldy membolakan kedua matanya tak percaya. Jadi…yang ia lihat tempo hari…?
"Dia kayaknya pengen lo tahu dia. And you know, Aldy? She adore you so much." (hk)

KEGIATAN PANORAMA