(Cerpen) Takdir


Takdir

                Semua kebisingan ini tak mau meninggalkanku. Teriakan lantang untuk tidak menyerah, gemuruh langkah kaki, suara tembakan dan letusan, semua terasa begitu nyata. Masa-masaku telah berlalu satu dekade yang lalu, namun kengerian dan ketakutan masih terus menghantuiku. Bayangan tentang semua orang yang mati kala itu membuatku tak tenang untuk beristirahat. Aku terbangun dengan peluhku menetes, tak sadar bahwa semua itu hanyalah bunga tidur semata.
                Hawa dingin menusuk tulangku, memaksa mataku untuk sekali lagi terbuka dan mencari kehangatan. Ku beranjak dan mulai memanaskan air di ceret dan membuat kopi untuk diriku sendiri. Tak kuhiraukan si manis yang merajuk minta dibelai, hanya kulemparkan sepotong ikan dan dia sudah diam. Aku selalu suka dengan pelataran ini, karena di sinilah semua kisahku bermula, di sini aku juga menemukan tujuan hidupku yang kini telah sirna. Semua pemandangan ini membawaku bernostalgia mengenang lima belas tahun yang lalu.

                Kala itu aku masih pertengahan 30, tubuhku masih bugar dengan semua semangat yang membara. Perasaan yang tak akan pernah hilang dari ingatan, bagaimana aku ketakutan, bersemangat, sedih, semua bercampur ketika kudengar genderang perang telah ditabuhkan. Mungkin dari penampilanku aku terlihat tak gentar menghadapi apapun, namun sesungguhnya aku pun takut. Takut jika nanti aku tak pulang, takut jika aku akan mati di tangan mereka, takut jika saat aku kembali dia tak ada di sana. Bersama dengan semua kawan kuberanikan diri mengangkat tinggi-tinggi senjataku dan berteriak dengan lantang “UNTUK INDONESIA MERDEKA!”.

                Semua ingatan itu membuat kepalaku pening. Kusesap sedikit kopiku sambil berpikir kemungkinan yang akan terjadi jika aku tidak ikut memberontak kala itu, mungkin sekarang aku tidak akan hidup kesepian sebatang kara. Namun tak kusalahkan siapapun atas takdir ini, tidak juga diriku sendiri, karena sesungguhnya tak kurasakan penyesalan karena aku telah memilih pilihan yang tepat. Emak dan bapakku pasti bangga melihat anaknya telah berani bertaruh nyawa demi melindungi orang lain.

                Tiba-tiba saja pandanganku terpaku pada sepeda onthel itu, yang entah sudah berapa kali membawaku pada kenangan-kenangan indah. Langsung pikiranku melayang pada sesosok gadis manis, rambutnya yang indah, parasnya yang ayu membuatku tak bisa lepas darinya. Belum lagi perilakunya yang sopan dan santun makin membuaiku untuk tak sedetikpun tidak memikirkannya. Namanya adalah Lastri. Ialah yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama.

Aku sedang mengendarai sepeda onthelku menuju pasar, karena emak menyuruhku membeli jengkol untuk dimasak menjadi gulai. Saat hendak kembali pulang aku melihatnya. Aku melihat ia terjatuh lantaran ditabrak seorang lelaki yang langsung pergi begitu saja. Tergerak hatiku akan belas kasihan, segeralah kuhampiri wanita itu. Kubantu ia berdiri dan membersihkan lukanya, barulah aku melihat wajahnya yang memancarkan kelembutan dan langsung aku menyukainya. Lalu kutawarkan untuk mengantarnya pulang, dan ia mengiyakan.

Rumahnya tergolong besar jika dibandingkan dengan rumah kebanyakan. Lokasinya sendiri tidak jauh dari pasar, hanya sekitar satu kilometer. Ia mempersilahkanku masuk, lalu ia pergi membuatkanku kopi. Sembari menunggu, aku hanya diam saja sampai aku dikagetkan dengan kedatangan seorang pria. Pria itu berkumis dengan badan tinggi dan berisi. Lalu saat Lastri kembali, ia mengenalkanku pada pria itu yang ternyata adalah ayahnya. Lastri pun menceritakan semuanya, bagaimana aku menolong dia dan mengantarnya pulang, setelah itu langsung ayahnya berterima kasih padaku dan kami berbincang-bincang. Obrolan itu terjadi cukup lama sampai aku teringat oleh jengkol emak. Segeralah aku berpamit dan pulang.

Sesampainya di rumah aku memang mendapat omelan dari emak, namun setelah aku menceritakan soal Lastri, barulah ia paham. Lama sesudah kejadian itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Lastri, namun aku selalu memikirkannya. Sungguh aneh bagaimana aku memikirkan gadis yang baru sekali kutemui. Sudah sebulan berselang dan harapanku mulai pudar, namun justru disaat itulah Lastri kembali muncul dan menghidupkan semangatku. Sekali lagi kuantarkan dia pulang. Sejak saat itu rutin aku menjemput dan mengantarnya pulang karena itu adalah mandat dari ayahnya. Lagipula kerjaanku hanya membantu bapak di ladang, jadi aku menerima tawaran ayah Lastri.

Gayung pun bersambut, rupanya Lastri juga menaruh rasa padaku. Hubungan kami semakin erat hingga hari itu datang. Terdengar suara tembakan dimana-mana saat aku masih memejamkan mata. Aku terbangun dengan kepanikan luar biasa, dan segera berusaha menyalamatkan diri bersama emak dan bapakku. Namun apa daya ditengah perjalanan menuju hutan, para serdadu Belanda melihat kami dan melepaskan tembakan. Tak kuasa aku mengingatnya saat kulihat kedua orang tuaku terjatuh dan tak bernafas lagi.

Ingin rasanya aku membawa mereka bersamaku namun prajurit-prajurit itu terus menembak dan mendekat, memaksaku untuk tetap berlari tanpa menoleh ke belakang. Aku berlari masuk ke dalam hutan, tak peduli dengan yang lain aku terus dan terus berlari bersama air mataku yang mengalir deras. Sesampainya di tengah hutan aku bertemu dengan penduduk kampungku yang berkumpul bersama dan berusaha mencari perlindungan. Kepala desa kami telah wafat, jadi yang memimpin gerombolan ini sekarang adalah anaknya.

Kami terus berjalan menuju kampung sebelah, berharap dapat menemukan tempat berlindung. Suasana sedih dan takut sangat terasa, namun semua telah terjadi, dan kami tak dapat merubahnya. Syukurlah karena kompeni belum menyerang sampai kampung sebelah. Kami disambut hangat dan warga kampung itu bergegas menyiapkan siasat untuk mempertahankan diri. Segeralah dikumpulkan para pemuda sebanyak mungkin, termasuk aku, dan kami langsung menyusun strategi untuk balas menyerang.

Sebenarnya kompeni sudah lama datang ke negeri ini, namun mereka belum pernah menggunakan senjata untuk menyerang. Mereka datang dan membujuk para pemimpin untuk kemudian menyetujui perjanjian yang menguntungkan mereka. Memang akhir-akhir ini sering kami dengar berita tentang pemberontakan rakyat pribumi terhadap Belanda yang sewenang-wenang. Namun di kampungku dan sekitarnya belum ada yang memulai pemberontakan apapun. Karena bagi kami, kami ikhlas hasil ladang kami diambil tanpa dibayar asalkan mereka tidak menyakiti kami.

Semua persenjataan kami buat secara tradisional menggunakan bambu dan bahan-bahan lain. Strategi menyerang sudah disiapkan seandainya mereka datang dan menyerang. Ketenangan tak berlangsung lama karena benar prajurit Belanda datang dan menyerang kampung ini. Isak tangis di mana-mana, darah berceceran dan suara letusan tiada henti. Aku berusaha sekuat mungkin untuk terus maju dan mengarahkan tombakku kepada mereka, kuingat semua kekejian mereka dan betapa ingin aku membalasnya. Semua melawan dengan tenaga yang tersisa, tetapi apa daya dengan segala senjata yang mereka miliki tentulah kemenangan sudah dipastikan.

Rasa takut kembali menyelimuti ketika mereka menyuruh para pemuda berbaris untuk dijadikan tawanan. Kami dipaksa untuk meninggalkan anak dan istri di kampung dan mereka membawa kami ke suatu penampungan. Di sana kami diberitahu bahwa sekarang kami harus bekerja untuk mereka membangun jalan raya di perbukitan batu cadas. Untuk sejenak aku melupakan Lastri karena aku bekerja tanpa henti siang dan malam. Kompeni menyuruh kami bekerja tanpa istirahat dan cara mereka memerintah sangatlah kejam.

Untuk beberapa bulan harapan kami telah sirna, hingga timbul perlawanan dari para petinggi yang membuat pimpinan Belanda membebaskan kami. Perasaan lega kami rasakan. Kami semua dipulangkan ke kampung masing-masing dan untuk pertama kalinya setelah kejadian ini aku merasa bahagia. Memang sudah tak ada orang rumah yang akan menyambutku ketika aku kembali, karena mak dan bapakku telah tiada. Namun aku tahu bahwa Lastri pasti ada, dan aku bisa pulang kepadanya.

Kutempuh perjalanan selama dua hari untuk bisa sampai ke kampungku. Sungguh tak sabar aku untuk melepas rindu dan bertemu Lastri. Namun bukan kegembiraan yang kuterima, namun kekecewaan yang datang menyapaku. Ternyata Lastri dan ayahnya telah pindah, kabur dari serangan kompeni saat itu, dan dari apa yang kudengar, Lastri telah dipinang oleh saudagar kaya yang merupakan mitra kerja Belanda. Lastri dipaksa ayahnya untuk menerima pinangan itu lantaran mereka akan diberi perlindungan juga kehidupan yang lebih dari layak.

Remuk hatiku mendengar semua kabar itu. Satu-satunya hal yang membuatku kembali pulang telah tiada. Sekarang ke manakah tujuanku? Seakan hilang arah, dengan putus asa aku kembali ke rumahku, rumah yang hanya tersisa tak lebih dari separuh. Dengan kerja keras kubangun kembali rumah itu. Semua warga kampung bahu-membahu saling membantu membangun kembali kampung kami. Memang aku sudah tak punya apapun untuk diperjuangkan, tetapi setidaknya aku akan berguna membantu para warga membangun rumah baru bagi kami semua.

Aku terbuyar dari lamunanku ketika si manis lagi-lagi merengek minta dibelai. Kugendong dia dan kuletakkan di pangkuanku. Sambil mengelus-elus kepalanya aku pun tersadar sepenuhnya dari semua memori itu dan kembali ke masa kini. Terus kubelai si manis hingga ia tertidur dengan tenangnya. (nad)

KEGIATAN PANORAMA